Aku Sebuah Proses (Bagian 2)

Selasa, 7 Agustus 2018 (Bagian 1 : Dekat dengan Mereka). Hari kedua kami menjalankan program live in, seperti biasa kami sudah harus menuju sanggar tepat pukul 18.30 untuk melakukan briefing sebelum masuk kedalam pembagian tugas. Kami dibagi menjadi beberapa kelas untuk melakukan kegiatan belajar mengajar : Darmo dan Gigih (kelas ceria), Livia (kelas cerdas), Lia (kelas kreatif) dan Bima (kelas inspiratif).

Kami melaksanakan tugas kami masing – masing memberikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan anak – anak yang telag diajarkan disekolah. Betul, inilah yang bagian menarik bagi saya. Pada hari itu ada dua kejadian yang membuat saya berfikir inilah pembelajaran yang sesungguhnya tentang “kehidupan manusia”. Pertama, saya mengajar anak – anak yang baru menurut kami, sedangkan mereka memandang kami adalah orang baru yang masuk kedalam lingkungan mereka. Tetapi kata “baru” hanyalah sebuah pemikiran primitive, mereka menyambut kami dengan hangat dan selayaknya kami adalah “bagian dari mereka”. Lingkungan di Kampung Tales tergolong kaum perekonomian-sosial menengah kebawah (klasifikasi pemerintah). Secara rata – rata pekerjaan orang dewasa disana ialah tukang becak, membuka warung, buruh cuci, pedagang kaki lima, keperluan sehari – hari dan pengamen.

Hari itu saya mengajar pelajaran matematika yaitu pertambahan, pengurangan dan perkalian bilangan pecahan. Anak – anak yang saya bimbing berjumlah 3 orang. Pada pendidikan formal atau sekolah mereka menduduki jenjang kelas 5-6 SD. Tentulah itu menjadi sebuah tantangan bagi saya, karena saya berhadapan dengan anak – anak yang akan beranjak remaja. Ketika proses belajar mengajar mereka terkadang teralihkan perhatianya seperti mengobrol soal tayangan sinetron, enggan untuk berlama – lama duduk melakukan proses belajar mengajar dan mudah bergurau. Tentunya system untuk menegur dan memerahi anak – anak ketika “mereka bersikap tidak sesuai dengan kaidah masyarakat” pada umumnya adalah hal yang kurang tepat.

Dari sinilah saya mendapat pelajaran yang pertama yaitu mengajar anak – anak haruslah dengan hati yang tulus karena mereka dapat merasakan hal tersebut. Saya berhadapan dengan anak yang secara pendidikan mereka kurang, tidak semua dari mereka berada dibangku sekolahan. Tata bahasa dalam bicara yang “kasar”, determinasi dalam melakukan kegiatan proses belajar sangatlah rendah dan keadaan orang tua mereka yang terkesan membiarkan. Inilah salah satu contoh kehidupan yang menjadi kerasnya kota Surabaya.

Ketulusan, senyum, berteman bahkan bersahabat dan saling mengerti kebutuhan itulah hal – hal yang dibutuhkan oleh anak – anak di Kampung Tales. Iya, saya pernah membaca salah satu dari tulisan Romo Mangunwijaya yang berjudul “Rumah Bambu” dalam bukut tersebut beliau adalah sosok yang dikagumi warga dari satu sudut kecil kota Yogyakarta. Dimana rata – rata warga atau masyarakat disana hidup secara ekonomi kekurangan namun, mereka kaya secara hati yang besar untuk menerima. Ketulusan hati yang ingin selalu menyebarkan tawa adalah dalam diri  Romo Mangun yang secara tidak langsung saya jadikan cermin dalam melakukan kegiatan live in.

Saya selalu  berusaha untuk menyisipkan modal ajaran hidup yang saya peroleh hingga saat ini. Banyak hal yang saya pelajari di hari kedua, karena itu adalah hari pertama saya mengenal anak – anak itu secara dekat. Terlebih ilmu psikologi saya untuk berusaha melakukan asesmen, observasi dan peka terhadapp lingkungan menjadikan saya lebih bersyukur serta inilah modal saya utnuk melakukan live in disana.

 

Bersambung

        

Bima Wicaksana

Mahasiswa S1 Psikologi UBAYA

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.