Saat menyimak cerita dalam bahasa Inggris, masing-masing anak harus fokus untuk memperhatikan dan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir kakak pendamping. Seketika tersiar aksara asing walking, dalam sekejap mereka harus melakukan gerakan layaknya orang sedang berjalan. Begitu pula jika istilah sit terdengar di telinga. Secepat kilat, posisi duduk harus jelas tergambar dalam sikap tubuh mereka.
Itulah sedikit gambaran salah satu adegan pertemuan ketiga dalam sinau bahasa Inggris bersama Romo Paulus CM, Amuary, dan Desi yang berlangsung di rumah belajar Jl. Lebak Arum Barat No.21, Surabaya. Sebanyak 7 dara berusia belasan tahun tampak antusias mengikuti studi yang telah terjadwal pada setiap hari Kamis petang.
Mengubah ketujuhnya untuk menjadi bergairah dalam mengikuti proses belajar awalnya cukup menguras pikiran.
Mereka bertujuh mengawali kelas Inggris pada pertemuan perdana (4/3/2021) dengan partisipasi yang tak optimal. Minim kontribusi serta kurang percaya diri saat menjawab sebuah pertanyaan mewarnai aktivitas belajar kala itu. Bahkan, hanya sekadar diminta oleh kakak pendamping untuk berdiri pun mereka enggan.
Lantas terbesit tanya dalam benak penulis. “Teknik pendekatan macam apa yang sesuai agar membuat mereka memiliki cinta kepada bahasa Inggris?” Kalimat tanya tersebut tentu akan terlintas dalam pikiran sebagian besar tenaga pengajar, entah itu pendidik di sekolah formal maupun pada lembaga sosial pendidikan alternatif .
Namun hambatan dalam diri mereka lambat laun sirna. Hal ini mulai tampak setelah mereka melewati perjumpaan ketiga. Formula belajar sembari bermain yang diterapkan pengajar ampuh untuk memunculkan perubahan positif dari dalam diri mereka. Kini mereka jauh lebih cekatan kala menjawab sebuah pertanyaan.Tawa dan raut wajah gembira juga semakin terlukis jelas di paras masing-masing.
Alhasil, tinggal menanti saja bagaimana impresi lanjutan dari jalinan cinta antara ketujuh dara jelita dengan bahasa Inggris.
Oleh Agus Eko Kristanto