*) Senin, 6 Agustus 2018. (“Baru” ialah primitive) tepatnya pukul 18.30 menjadi awal kelompok 26 yang beranggotakan Gigih, Darmo, Livia, Lia dan saya sendiri Bima untuk menjalankan tugas dari Fakultas Psikologi UBAYA untuk mengikuti live in. Kami melakukan live in dengan mengikuti serangkaian kegiatan yang dibentuk oleh Sanggar Merah Merdeka ialah salah satu bentukan program dari Yayasan Kasih Bangsa dibawah naungan Romo Ignatius Suparno. CM.
Disana kami berlima berperan sesuai dengan tugas kami yang ditetapkan oleh Sanggar Merah Merdeka, oleh Koordinator sanggar yaitu Mas Heru memberikan instruksi kepada kami untuk sedapat mungkin untuk bisa mengikuti kegiatan yang ada di sanggar. Hari pertama saya belum dapat tugas secara spesifik yang ditetapkan oleh sanggar tetapi ada tugas pertama yang menurut saya penting adalah berinteraksi, bertukar informasi, dan mendapatkan senyum dari anak – anak serta orag tua di Kampung Tales.
Kampung Tales ialah tempat dimana kami berkegiatan live in, letak daerah Kampung Tales berada dibelakang Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dan dekat dengan flyover Wonokromo. Mayoritas penduduk yang bertempat di Kampung Tales ialah berdarah atau keturunan dari daerah Madura dan memiliki perekonomian yang tergolong mengah – kebawah.
Pekerjaan penduduk Kampung Tales mayoritas ialah pedagang, kerja kasaran, dan tukang becak. Ekonomi dan keadaan sosial disini juga mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan pola piker, akhlak, budaya dan cara pandang anak – anak yang bertempat tinggal di Kampung Tales. Beberapa anak dapat dengan bebas dan merasa tidak bersalah dengan mengucapkan kata- kata “kasar” atau “tidak pantas” serta ucapan yang dilontarkan dari mulut mereka seakan dibiarkan oleh orang – orang dewasa di sekitar tersebut dan seperti hal yang dianggap sudah”biasa”. Namun dari sekian budaya dan norma yang mungkin seperti agak bersimpangan dari tatanan norma dan budaya yang normal, hal yang menarik ialah cara mereka utnuk menerima kami.
Kami yang baru dianggap seperti orang lama disana, terlebih secara ras, suku dan agama kami berbeda dengan mereka. Saya sungguh bersyukur untuk hal tersebut disana mereka sangat memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi dan salah satu masyarakat yang memiliki kecerdasan dalam berfikir. Karena untuk tujuan yang lebih baik sudah seharusnya tidak melihat latarbelakang atau dimana kami berasal, namun melihat “apa yang kita bisa perbuat” untuk menjadikan sesuatu lebih maju dan baik.
Disanalah hari pertama kami dalam melakukan kegiatan live in. Pukul 21.45 kami menyelesaikan kegiatan di Kampung Tales, kami berpindah tempat menuju Sanggar Merah Merdeka untuk melakukan evaluasi dan persiapan untuk keesokan harinya. Setelah itu pukul 22.30 kami menyelesaikan hari itu.
Teman – teman kelompok saya setelah selesai berkegiatan hari itu, mereka melakukan undur diri untuk pulang ke rumah mereka masing – masing. Namun, saya masih tetap tinggal di (markas) Sanggar Merah Merdeka untuk sekedar melakukan silahturahmi. Mas Heru, Mas Rowi, Dita dan Mas Tri mereka adalah orang – orang dibalik kesuksesan dan terjaganya keberlangsungan hidup Sanggar Merah Merdeka. Dengan sebatang rokok dan teh hangat yang disediakan sanggar menemani obrolan malalm kami. Mereka adalah orang – orang yang dapat dikatakan memiliki hati yang besar, banyak dari mereka merelekan kehidupan pribadinya untuk keberlangsungan kehidupan waraga dan anak – anak di Kampung Tales.
Identitas saya sebagai mahasiswa dipertanyakan ketika saya meluangkan waktu untuk melakukan obrolan malam dengan mereka. “Apakah benar saya mahasiswa dan saya layak menyandang status mahasiswa, jika saya mempertanyakan kata depan “maha” apabila saya hanya berlaku seperti siswa biasa?”. Dari siratan pernyataan tersebut berujung pada pertanyaan berikut, “apakah benar saya mahasiswa psikologi, jika saya hanya berkutat pada tulisan, aksara, teori dan segala bentuk hitam diatas putih? Sedangkan bukankah psikologi mendalami apa yang menjadi perilaku dan pemikiran manusia.” Dua pertanyaan tersebut menjadikan saya tergelitik, dan kembali untuk menyimak perbincangan mereka dari perntanyaan dan pernyataan yang kami sampaikan pada malam itu.
Refleksi saya pada malam itu, menjadikan saya berfikir ini apabila kegiatan ini tidak berlangsung dan saya memutuskan untuk mundur dari kegiatan live in kali ini. Apabila saya mundur hanya dikarenakan jarak tempuh dari rumah saya menujut tempat live in yang terhitung jauh, maka saya hanya sebagai sosok mahkluk hidup yang tidak memiliki jiwa manusia sesungguhnya. Terlebih pada malam itu saya meluangkan waktu untuk sekedar melakukan obrolan malam adalah untuk mempermudah kami menjalankan tugas kami dan berkoordinasi dengan pihak Sanggar Merah Merdeka.
Bersambung
Bima Wicaksana
Mahasiswa S1 Psikologi UBAYA