Festival Lima Gunung (FLG) ke-12 yang digelar di kawasan antara Gunung Andong dan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, tepatnya di Dusun Mantran Wetan Desa Girirejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, berakhir Minggu (30/6). Kegiatan yang dilaksanakan sejak Jumat (28/6), mendapat perhatian masyarakat. Bahkan pada Minggu (30/6) yang merupakan ‘gong’-nya festival tersebut, ditandai dengan kirab Mulat Kahanan Sungsang keliling dusun. Mulat kahanan sungsang ini mempunyai arti melihat keadaan yang tidak semestinya, carut marut dan tak karuan. Diikuti sejumlah seniman dengan mengusung sebuah karya berbentuk kursi ukuran besar yang ada gunungannya. Kesenian tradisional asli Mantran Wetan, yang usianya sudah ratusan tahun, Jaran Kepang Papat, mengawali pementasan di panggung utama FLG ke-12 .
Festival Lima Gunung merupakan perayaan kesenian yang digelar setiap tahun oleh Komunitas Lima Gunung. Festival ini menampilkan berbagai jenis kesenian tradisional. Pelaksananya adalah masyarakat petani yang bermukim di lereng lima gunung di Kabupaten Magelang, yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Menoreh, dan Gunung Sumbing. Di ajang Festival Lima Gunung, kita bisa melihat bagaimana para petani tampak berbeda. Petani yang biasanya pergi ke sawah itu, kini menari, melukis, atau memainkan musik. Mereka adalah anggota dari kelompok-kelompok kesenian yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung. Festival Lima Gunung benar-benar merupakan gerakan kesenian rakyat. Melalui festival inilah rakyat kecil turut berperan dalam mengisi lembar-lembar kekayaan budaya Indonesia.
Festival Lima Gunung berawal dari acara tahunan sedekah bumi yang diadakan para petani di Lima Gunung. Mereka memanjatkan doa kepada Sang Pencipta sebagai wujud syukur atas gunung-gunung yang menghidupi mereka. Bersyukur untuk tanah yang mereka garap untuk lahan pertanian, dan bersyukur untuk ketentraman desanya. Sungguh jarang menemukan kearifan lokal di jaman modern seperti ini. Hidup harmoni dengan alam, menjaga kelestarian hutan, menjaga budaya lokal asli lereng gunung, dan menjaga hubungan dengan Sang Khalik.
Para seniman Komunitas Lima Gunung adalah rakyat biasa. Mereka turut merasakan persoalan sosial dan mewujudkan keresahan mereka melalui ekspresi seni. Ada kekhasan dari beberapa tarian yang disuguhkan festival ini. Misalnya terlihat pada tarian Topeng Ireng, Kuda Lumping, atau Solah Kiprah. Dalam ketiga tarian yang dilakukan secara berkelompok ini muncul suasana gembira. Melalui tarian-tarian ini, para penari seperti hendak mengabarkan kepada dunia tentang kegembiraan hidup, meski mereka terhimpit berbagai persoalan. Tarian mereka adalah tarian kehidupan yang setiap hari mereka jalani.
Sungguh senang rasanya, saya bersama Gembo, Heru dan Asteria sebagai wakil dari relawan Sanggar Merah Merdeka bisa tampil diacara itu. Selama Tiga hari ikut berproses, hidup tinggal di rumah warga. Dengan keramahan dan kepolosannya, kami disuguhi berbagai makanan khas Gunung Andong, dan Teh Hijau yang langsung mereka petik dari lahan mereka. Setiap kami berjalan menyusuri jalan desa, selalu saja kami disapa untuk diajak mampir ke rumahnya.
Di acara itu, saya membantu teman-teman dari Saka Galeries menampilkan tarian teaterikal mengusung cerita Drupadi dalam versi India. Agak canggung dan malu juga, karena ada beberapa teman dari Luar Negeri ikut bergabung. Mereka sangat pintar memainkan musik gamelan dan menarikan tarian jawa. Sebuah tamparan keras buatku, mereka yang dari luar negeri justru sangat peduli dengan budaya kita. Pada tampilan kedua, Saya dan Gembo mewakili Sanggar Merah Merdeka menampilkan teaterikal yang dibantu teman-teman Saka Galeries untuk tariannya. Penampilan kami bertemakan Tandure Wus Sumilir, penggambaran dunia yang semakin tak karuan. Namun dalam kesemrawutan itu, ternyata ada harapan yang ditandai dengan munculnya tunas pohon. Tergantung bagaimana dengan kita, maukah kita memelihara tunas yang telah tumbuh itu.
Banyak sekali seniman yang ikut memeriahkan acara Festival Lima Gunung itu. Seniman Gunung, para petani yang berkesenian melalui olah rasa yang mereka peroleh dari memaknai hidup yang mereka jalani. Di gunung kami berkarya, di gunung kami berdoa, di gunung kami hidup, dan di gunung kami banyak belajar hidup berharmoni dengan alam.
oleh Wahyu Krisdiantoro