Jengah rasanya langkahku untuk kembali menapaki sesuatu yang baru, semangatku memudar kala kota dimana aku menetap sangat jauh dari kehidupanku di kota -kota sebelumnya aku tinggal. Dimana modernisasi yang pesat namun mereka tidak pernah lupa akan budaya tradisi yang menjadi jatidiri mereka. Bahkan saat aku tinggal di Belanda pun, mereka sangat memegang budaya tradisi mereka, menarik, disisi lain mereka manusia super cepat yang selalu bergulir dengan waktu, tapi mereka tidak pernah lupa akan siapa & dimana mereka berada.Kehidupan modernisasi yang selalu cepat namun disini latah akan dirinya sendiri. mungkin tulisanku akan sedikit menusuk, tapi memang tidak selamanya kenyataan itu menyakitkan apabila disikapi dengan legowo (lapang dada).Tradisi mungkin hanyalah sumbu pendek urbanisasi, menyingkirkannya tanpa mencari akar masalah. Mengaku sebagai orang tradisi tanpa mau tau “PAKEM” yang seharusnya, tanpa tau “unggah ungguh”. Jadi yang ada hanyalah Instanisasi yang tidak jelas jluntrungannya, dan hidup di imaginasi “seolah-olah”.
Ya, saat itu seorang kawan dari sanggar MERAH MERDEKA, Mas Wahyu Jolodhong meminta tolong untuk dicarikan guru tari tradisi untuk sanggarnya, hanya guru tari tradisi biasa yang bukan tradisi klasik. Kenyataanya sangat menggelikan, tidak ada satu orang pun yang bisa, bahkan sudah dijelaskan kalau ini “volunteer”, tapi masih menanyakan ransport, makan, bulanan dan keperluan keuangan yang lain. Dalam hati kecilku ingin membantu, tapi aku bukanlah guru tari, aku bukanlah orang yang hebat dalam hal ini, aku hanya penikmat seni. Memang guru – guruku adalah manusia expert di bidangnya, tapi aku bukan mereka.
Awalnya aku hanya ingin dihadirkan sebagai bagian dari sanggar tersebut, hitung – hitung olah raga untukku. Namun ternyata mereka harus performance, dan kawanku menanyakan kesediaanku untuk mempersiapkan anak – anaknya performance yang sedikit nyerempet tradisi. Akhir kata aku diminta mengajar menari. Di sebuah sanggar dibilangan bendul merisi. Sanggar MERAH MERDEKA.
Konsep dari sanggar ini adalah menampung anak-anak pinggiran dan anak sekitar. Itu yang membuatku tertarik. Well, here we go.. Grogi mengajar, karena aku bukan guru hehehe Tahap awal hanyalah streching dasar yang benar – benar dasar, itupun jauh dari lengkap. Karena kenyataannya mereka jauh dari yang namanya gerak dasar olah tubuh. Akhir kata, aku sepakat untuk mengolah gerak dasar mereka dulu.
Ada ke galauan dimata mereka, aku tau, waktu sudah mepet dan mereka belum diajarkan tarian sama sekali. Yang ada hanya streching sambil bercanda. Mungkin bayangan para volunteer yang lain adalah diajarkan tarian yang sudah jadi. Maka yang terjadi adalah kepesimisan, biarkan saja.. Tanpa anak-anakku dan para volunter yang lain sadari, sebenarnya anak-anaku sudah belajar menari, belajar tehnik pernapasan dan olah rasa. Anak-anaku mengeluh latihan yang berat dan capek dengan cara ngedumel, atau ketawa-ketawa ngakak karena mereka menahan pegal karena hitungan yang terasa lama. Pernafasan mereka diolah sendiri dengan alami, rasa mereka muncul sendiri tanpa harus meditasi. Mereka hanya anak – anak, biarlah mereka berproses dengan alami..
Beberapa kali latihan gerak dasar, mereka belajar menyanyi. Konsep kali ini adalah “DOLANAN BOCAH”. Mereka hanya diajarkan lagu dolanan yang mereka tau. Lir – ilir serta gundul – gundul pacul yang mereka jelas sering dengar saja ternyata mereka tidak hapal liriknya, “Mbak, kapan kita diajar nari?” Pertanyaan itu akhirnya keluar juga. Sengaja belum aku atur untuk mengolah rasa ingin tau mereka. Mungkin anak-anaku penasaran kapan narinya, kok tiap hari disiksa..hehehe
Dan waktu berlalu. Dengan bantuan Mas gembo, yang memang jago dalam mengolah musik, dipisahkanlah anak -anak antara yang cowok untuk bermusik dan yang cewek menari. Dari botol aqua untuk musik sampai kenthongan mereka jadi musik..
Akhirnya aku menanyakan mereka, tentang pelajaran “penyiksaan” yang aku ajarkan..dan.. mereka tertawa serta menemukan jawabannya sendiri :). Gerakan penyiksaan yang mereka sebut itu adalah tarian yang belum disambung. Aku tidak mau anak-anakku hanya tau tarian jadi tanpa tau esensi nya.
Dengan bekal gerakan dasar ini, mereka akan lebih mudah mempelajari tarian yang lain. Modern dance bisa dipelajari dengan cepat, tapi seni tradisi? Tidak hanya sekedar menghapal dan tidak semudah membalikan telapak tangan, perlu waktu & perlu proses.
Atas bantuan mbak Fanny sahabatku, aku mendapatkan selendang untuk anak-anak ku, serta kostum jarik seadanya mereka punya untuk mereka perform. Para cowok seolah memainkan alatnya bak “JAGOAN” dan para cewek menari seperti “BIDADARI”. Jauh dari harapanku, mereka LUAR BIASA!! Kekurangan adalah milik manusia, kesempurnaan hanya milik Nya. Dan biarlah mereka tumbuh dan berkembang dengan segala yang ada, Janji – janji mereka dihari yang semakin sulit ini, kiranya tumbuh dengan seribu buah kebaikan.
oleh Anggelique Donna Bassle
1 comment for “Tradisi, Budaya Yang Tersisa”