Live in sosial merupakan satu-satunya formatio kelas XI di JB yang saya sangat khawatirkan -sebenarnya ada LKTL juga, namun kegiatan LKTL diganti dengan Pekan Toleransi. Mengapa? Karena pikiran saya waktu itu dipengaruhi oleh berbagai macam statement – statement, mengenai Live in sosial yang begitu menguras mental, tenaga, dan pikiran. Ditambah lagi dengan pemaparan mengenai Live in sosial yang diwacanakan akan mengambil lokasi di keluarga penggali kubur yang semakin memperburuk mindset saya mengenai Live in sosial -karena saya merupakan orang yang penakut. Akhirnya, saya dengan segala keterbatasan diri saya, mencoba untuk tetap menjaga diri saya agar tak semakin larut dalam kekhawatiran saya akan hal yang belum tentu terjadi. Saya berdoa dan meminta berkat dari kedua orangtua saya agar dapat melalui seluruh dinamika saya secara optimal.
Berbagai macam pikiran saya bawa ketika saya mulai berangkat Live in. Gelisah, takut, akan segala ketidaknyamanan yang mungkin tak terjadi, namun juga penasaran, kemana saya akan dibawa. Namun, kembali lagi saya memohon rahmat kepada Allah, agar saya dapat menepis segala pikiran negatif saya mengenai Live in ini. Saya siap, saya harus siap. Itulah yang terngiang dalam benak saya ketika melangkah menuju bus yang akan membawa saya entah ke mana, walaupun dengan jelas supir mengarahkan bus ke arah timur. Namun sekali lagi, berbagai kemungkinan dapat terjadi. Kita tak akan bisa menebak secara pasti, bagaimana keadaan kita kelak.
Fajar menyingsing di Surabaya. Ternyata saya ditempatkan di Surabaya. Begitu menyadari hal itu, pikiran saya langsung terpaku pada satu pekerjaan, yaitu pemulung. Pikiran saya pun tambah kacau lagi, mengingat kehidupan pemulung yang jauh dari kata nyaman dan bersih, akan tetapi dekat dengan kata sampah dan kotor, serta ketidaknyamanan. Sekali lagi, saya mencoba menepis semua anggapan negatif saya. Begitu tiba di Surabaya, saya bersama teman-teman satu bus dikumpulkan di suatu sanggar, bernama Sanggar Merah Merdeka, dan langsung disambut dengan hangat oleh Mas Heru. Lingkungan di sekitar sanggar itupun terbilang kumuh, dengan aksesoris bau selokan yang sangat menusuk hidung. Ini tantangan, gumam saya. Setelah menyantap sarapan, kami pun dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Saya mendapat kelompok bersama 5 teman yang lain, yaitu Ronald, Wisnu, Kefas, Daiva, dan Dicky. Kami didampingi Pak Yuli, menaiki bemo menuju induk semang kami. Selama seminggu, kami ditempatkan bersama keluarga Pak Mat Pitung, beserta putranya yaitu Cak Usup. Saya sadar, mereka bukan sepenuhnya pemulung, melainkan bos pemulung. Kami diarahkan menuju kamar yang akan kami tinggali selama satu Minggu kedepan. Pada hari pertama kami di Surabaya, kami belum mulai bekerja. Pak Mat -begitu sapaan akrab Mat Pitung , menyuruh kami untuk istirahat terlebih dahulu, selagi menunggu anak buah Cak Usup yang belum siap bekerja. Kami baru memulai pekerjaan pada hari Rabu. Di hari pertama ini, saya sadar bahwa pekerjaan yang dianggap remeh oleh segelintir orang ini ternyata tidak sepenuhnya remeh. Karena jika ditinjau dari segi ekonomi saja, walaupun dihidupi oleh sampah dan menghidupi dengan sampah, induk semang saya mempunyai satu mobil dan satu sepeda motor. Saya sadar bahwa semua pekerjaan itu sama. Tak ada yang lebih tinggi derajatnya. Semua sama, asalkan pekerjaan tersebut tidak melanggar norma yang ada. Saya menutup hari itu dengan bersyukur kepada Allah, karena atas kehendak-Nya, saya memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kepribadian saya.
Hari kedua, saya rasa saya cukup siap untuk menjalani segala pekerjaan yang ditawarkan oleh induk semang saya. Hari itu diawali dengan mengupas label botol bekas. Sepele? Iya. Mudah? Memang. Namun, berhubung botol-botol tersebut adalah botol bekas, dan mayoritas masih berisi cukup banyak, ditambah dengan usia yang sudah cukup lama, tentunya isi dari kebanyakan botol tersebut pun sudah membusuk, berbelatung, dan memiliki aroma yang sangat sangat tidak enak. Kami bekerja hanya tahan hingga tengah hari. Selebihnya, akhirnya kami disuruh untuk istirahat saja di kamar. Saya sadari, ternyata di tempat kami bekerja, ada satu pekerja tetap di situ yang melakukan pekerjaan itu, ditambah dengan memilah sampah, seorang diri. Ya, seorang diri. Dan beliau adalah seorang ibu. Bagaimana saya tidak kagum? Melihat bagaimana beliau dengan segala ketidakjijikannya memilah sampah dengan tangan kosong. Saya menyadari, inilah kerasnya kehidupan. Hal ini hanya salah satu dari sekian banyak hal yang mencerminkan bahwa hidup itu keras. Hari itu pun saya tutup dengan rasa syukur, atas diri saya yang dititipkan Allah di keluarga yang cukup mampu selama hidup saya. Terimakasih Tuhan.
Saya bersyukur, mampu melewati dua hari pertama saya di Surabaya dengan cukup lancar. Hari itu, agenda saya sedikit berubah. Tidak lagi menguliti label, akan tetapi hari ini saya ditugasi membantu ibu itu untuk memilah sampah. Mau tidak mau, saya pun harus menjalankannya. Ibu itu cukup ramah dengan kami. Ibu itu bernama ibu Mari. Beliau bercerita banyak kepada saya. Beliau berasal dari Probolinggo, mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil, dan satu orang suami yang sedang sakit parah. Beliau pun menceritakan bagaimana beliau mulai mencicipi kerasnya hidup sejak kelas 3 SD. Bayangkan, anak kecil kelas 3 SD saja sudah berani bekerja, demi membantu orangtuanya. Beliau pun banyak bercerita mengenai kehidupan, mengenai orang kaya dan orang miskin. Saat bercengkrama di antara tumpukan sampah dengan beliau, saya langsung teringat yang pertama teringat Bapak saya. Beliau-beliau ini sama sama tulang punggung keluarga. Saya pun langsung sadar, bagaimana bapak saya, dengan keras mencari nafkah demi saya, ibu, dan keluarga saya. Hal itu tak jauh berbeda dengan Bu Mari. Beliau bekerja keras, demi anak dan suaminya, walaupun penghasilannya tak seberapa. Yang kedua yaitu ibu saya, karena mereka berdua sama-sama ibu, yang dengan penuh kasih sayang, dengan penuh ketulusan mengusahakan yang terbaik untuk keluarga mereka. Beliau pun juga menceritakan betapa mengertinya kedua anak Bu Mari, yang begitu mengerti keadaan orangtuanya, dengan menyisihkan sebagian uang jajan mereka. Speechless. Saya, yang notabene sudah remaja, 17 tahun, dibanding dengan anak setingkat SD, memiliki pemikiran sedemikian mulianya dibanding diri saya. Pribadi kedua yang turut serta menyadarkan diri saya yaitu Pak Ansori dan Pak Ahmad Husein. Mereka berdualah yang mendampingi saya dan teman-teman untuk memulung. Waktu itu, kegiatan kami setelah matahari terbenam yaitu memulung sampah. Cukup jauh kami bersepeda menuju lokasi memulung. Waktu sampai, kami terancam masuk penampungan Dinas Sosial, karena pada waktu kami sampai di lokasi dan hendak memulai memulung, ada sekelompok Satpol-PP PP yang sedang patroli. Beruntung Satpol-PP tersebut tidak menyadari kehadiran kami. Mereka berdua kembali mengingatkan saya kepada bapak saya, sebagai tulang punggung keluarga, dengan segala resiko dan pengorbanannya, demi kelangsungan hidup anak istri mereka. Hari itu sangat saya syukuri, atas segala pribadi, atas segala pengalaman yang mulai membentuk diri saya.
Hari ketiga saya bekerja. Hari itu pun sedikit berbeda, karena kami tidak mengikuti anak buah Cak Usup lagi, namun justru mengikuti Cak Usup untuk memungut sampah di sebuah apartemen. Saya pikir hal ini akan lebih gampang dibanding pekerjaan yang lain. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Sampah di apartemen ternyata sangat banyak, beragam, dan juga tentunya sangat menjijikkan. Saya hampir muntah ketika disuruh memindahkan sampah menuju bak mobil. Ternyata, mulung itu benar-benar berat, pikir saya. Muncullah lagi kesadaran bahwa semua pekerjaan itu sama. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya ataupun lebih baik pekerjaan itu, tetapi semua pekerjaan itu sama dan sederajat. Kegiatan kami diakhiri dengan memulung lagi. Namun, kali ini kami hanya didampingi oleh Pak Ansori, tanpa Pak Husein.
Akhirnya, hari terakhir Live in sosial. Saya cukup semangat menjalani hari itu, karena Live in pun hanya menyisakan satu hari itu saja. Saya kira, saya akan tidak disuruh bekerja lagi oleh induk semang saya. Namun, ternyata kembali kenyataan berkata lain. Kami masih disuruh untuk menguliti label lagi. Akhirnya, dengan sedikit keterpaksaan, kami menyelesaikan pekerjaan itu. Hari itu pun ditutup dengan kami berpamitan kepada induk semang kami, dan kepada Romo pengurus Sanggar Merah Merdeka, sebagai basecamp kami.
Live in sosial kali ini, menurut saya akan menjadi pengalaman saya yang paling mengesankan sepanjang tahun ini. Orang baru, tempat baru, pengalaman baru, dan lebih dari itu yaitu kepribadian baru, telah saya dapatkan. Setelah Live in ini, saya bertekad untuk semakin rendah hati, semakin menghargai serta menghormati orang tua saya, atas segala jerih payah dan pengorbanan mereka demi diri saya. Ada satu hal yang saya sesali, saya belum sempat berpamitan, lebih dari itu berterimakasih dengan Bu Mari, Pak Ansori, dan Pak Husein, yang dengan hangat membantu dinamika saya di Kota Pahlawan. Saya pun belum sempat kembali mengunjungi Pak Mat, dan Cak Usup sekeluarga di sana, padahal saya sudah berkata akan mengunjungi mereka di bulan Maret lalu. Semoga siapapun dari Sanggar Merah Merdeka yang membaca tulisan saya ini dapat menyampaikannya kepada keluarga baru saya di Kejawan Putih Tambak, Surabaya. Matur sembah nuwun, Berkah Dalem.
Ditulis dengan kerinduan oleh,
Hieronimus Emilianus Evangelista (Fafa),
Siswa kelas XI IPA 4 SMA Kolese De Britto,
Peserta Live in Sosial 2018 di Kejawan Putih Tambak, Surabaya.