Hari kedua di bulan Mei aku mulai dengan acara pisah kenang di suatu hotel bersama dengan teman-teman sekolahku. Graduation tersebut menjadi tanda berakhirnya masa-masa SMA ku. Namun dibalik kebahagiaan karena kelulusan, aku juga merasa sedih untuk percaya saat semua kegiatan rutin yang aku lalui tidak bisa lagi aku lakukan. Pastinya aku tak bisa lagi usil dan bersenda gurau dengan kawan-kawanku. Ku menangis menerima kenyataan bahwa aku harus berpisah dengan kawanku. Ada yang melanjutkan kuliah di Jakarta, Bali bahkan ada yang melanjutkan studi ke Jepang. Hanya aku yang memilih untuk melanjutkan hidup dan menampaki cita-cita di Surabaya.
Meskipun kuliah baru dimulai tiga bulan lagi, aku memilih untuk segera meninggalkan Malang dengan tujuan ingin beradaptasi dengan situasi Surabaya yang berbeda jauh dengan Malang, mulai dari suhu, lingkungan, lalu lintas, dan sebagainya. Hanya itu tujuan awalku untuk pergi ke Surabaya sebelum waktu kuliahku di mulai. Di Surabaya aku tidak memiliki kegiatan penting. Aku cuma berkunjung ke saudara-saudaraku dan berkeliling-keliling kemudian kembali ke kos-kos an. Puji Tuhan tak lama aku menganggur tanpa arah, akhirnya aku menemukan komunitas baru. Komunitas yang aku harapkan bisa membuatku tidak bosan. Romo Wawan lah yang telah mengenalkan aku dengan komunitas ini. Kepo kan komunitas apa yang aku maksud?. Yap komunitasnya adalah Sanggar Merah Merdeka (SMM).
Suatu sore Romo Wawan mengajakku melihat sanggar yang berada di dekat stasiun Wonokromo. Mendengar ajakan Romo aku bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi kesana. Tak butuh waktu lama untuk sampai kesana sekitar tiga puluh menit waktu yang aku tempuh. Sesampai di sana aku dikenalkan dengan banyak relawan yang datang pada saat itu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit aku dan para relawan beranjak dari sanggar menuju pos Tales tempat dimana kegiatan rutin diadakan.
Sampai nya di pos Tales aku dan relawan disambut dengan keceriaan anak – anak yang sudah menanti. Teriakan dan kocehan mereka membuatku senang karena mereka terlihat sangat aktif dan bersemangat. Tak lama setelah menyapa anak-anak, aku diajak berkeliling melihat lingkungan kampung Tales bersama para relawan. Dari awal perjalanan aku sering terkejut dengan situasi lingkungan yang menurut ku sangat tidak layak untuk dihuni. Sekejap terlintas dibenakku bayangan muluk yang telah aku ukir mengenai kota Surabaya. Bayanganku ini ternyata berbanding terbalik dengan realita yang aku lihat. Di balik kota yang sangat gagah oleh gedung-gedung pencakar langit dan hirup pikuk kendaraan, ternyata ada kampung yang kotor dan tak tertata. Suatu keprihatinan tersendiri bagiku dengan situasi rumah yang sangat berhimpitan, sampah berserakan dimana-mana, tumpukan barang bekas menggunung diluar maupun didalam rumah dan tempat pembuangan sampah sementara yang berada sekitar 100 meter dari pos tempat kami mengadakan kegiatan, membuat keprihatinanku bertambah dalam.
Puas mengelilingi kampung Tales kakiku melangkah menuju pos Tales dan memulai kegiatan pembelajaran. Selintas bau busuk dari pembuangan sampah menusuk hidung, aku ragu untuk menutup hidung. Aku terus mengalihkan perhatianku dan mengabaikan bau tersebut. Kegiatan pun dimulai. Anak-anak berkumpul dan mengeluarkan buku mereka masing-masing dan berebutan untuk meminta perhatian kakak relawan untuk tugas yang mereka punya.
Saat mendampingi anak-anak, aku terkejut dengan sikap dan perilaku anak-anak yang berbeda dari anak-anak yang pernah aku temui sebelumnya. Begitu aktif sampai aku tidak bisa membedakan aktif dengan sedikit kurang ajar. Aku bingung harus menghadapi anak-anak dengan sikap seperti apa, aku hanya terdiam dan sedikit menghela nafas saat anak- anak ini mulai tidak fokus saat belajar. Ada yang benar-benar belajar, ada yang bertengkar, bermain, berteriak sambil berlari kesana kemari. Itu semua membuat aku pusing. Tak lama ada seorang relawan yang mengajak mereka kembali fokus belajar dengan nada sedikit naik, Puji Tuhan mereka patuh dan kembali fokus.
Tak terasa jarum jam pendek berada di angka sembilan dan si panjang di angka enam itu menandakan waktu untuk mengakhiri kegiatan. Kami berpamitan ke anak-anak, tak kusangka raut muka anak-anak berubah saat aku dan para relawan mengucapkan kata pamit. “Besok datang lagi ya mbak” ujar Mila salah satu anak disana, dan disusul suara anak-anak yang mengucapkan hal yang sama. Aku tersenyum dan bergegas kembali menuju sanggar. Di sanggar aku dan relawan mulai mengevaluasi kegiatan hari ini. Ada salah satu relawan memberiku pesan bahwa aku tidak boleh diam saja saat anak-anak mulai kurang ajar dan harus sedikit tegas kepada mereka supaya mereka tidak ngelamak. Aku bertanya kepada relawan cara menghadapi anak-anak. Para relawan memberiku saran dan cara mereka menghadapi anak-anak.
Ku minum segelas air, sekian menit aku terdiam dan akhirnya ku ucap kata pamit untuk pulang ke kos yang tak jauh dari sana. Sesampainya di kos aku bergegas membersihkan diri dan duduk termenung, berpikir dan merefleksikan kegiatan hari ini. Meskipun aku terkejut dan prihatin dengan kenakalan, lingkungan, situasi dan begitu macam ragam anak-anak di kampung Tales. Aku begitu senang karena aku bisa belajar memahami dan bisa menghadapi anak-anak dengan berbagai karakter. Aku juga dapat mengambil sikap positif yang mereka tunjukan seperti sikap aktif, bersemangat, dan bersyukur dengan apa yang mereka miliki. Ku beranjak dari lamunanku ke tempat tidur dan mengakhiri satu hari di dalam lembaran kisah hidupku yang telah aku ukir dengan penuh makna dan pelajaran.
Oleh : Dhita Widya A.