Sanggar Merah Merdeka: Refleksi Saya dan Kita

Sanggar Merah Merdeka bukan hanya sebuah rumah singgah yang terletak di tengah gang-gang Bendul Merisi. Rumah itu malahan jadi saksi bisu atas pikir dan hati para malaikat tanpa sayap yang setiap malam hadir dengan tulus tak terkira, menyambut anak-anak Kampung Tales.

 

Jika Senin tiba, papan tulis milik warga setempat yang sengaja dipakai untuk kegiatan belajar akan penuh dengan angka-angka, saatnya Matematika. Hari Selasa, mereka sibuk cuap-cuap, menelisik paragraf, menyelaraskan subjek-predikat-objek, Bahasa Indonesia. Kalau Kamis, jika kakak-kakak sanggar tak kunjung hadir karena terjebak macetnya Surabaya yang runyam itu, mereka sudah siap berdiri di ujung gang. Menunggu harap-harap cemas, sambil ngedumel, tak lupa buku dan alat tulis di genggaman, tak sabar belajar mengucap nama hewan, sayuran, dan benda-benda cas-cis-cus seperti di film-film Barat, saatnya Bahasa Inggris.

 

Ini bukan lagi kegiatan bakti sosial yang sifatnya menunggu momentum tepat saja. Ini kebiasaan. Sebagaimana bernafas, jika para relawan yang tulus dan mantap melangkah dari tempat ternyaman mereka, ke gang-gang sempit dekat pembuangan sampah di balai RW Kampung Tales tak kunjung hadir, maka si ‘udara’ dan si ‘penghirup’ akan sama-sama merasa kehilangan. Para relawan yang hanya dibayar senyum dan tawa bahagia nan sederhana anak-anak ini bagai udara segar bagi warga di Kampung Tales. Sementara si penghirup itu ya mereka, yang kadang nakal dan bandel, kadang susah dinasehati, kadang cari alasan capek belajar, tapi menggemaskan, sekaligus bikin kangen.

 

Saya jadi orang yang beruntung, ketika saya juga termasuk salah satu dari barisan relawan itu. Ini semua bermula dari tugas proyek sosial yang diberikan dari mata kuliah kelas Agama 2 yang saya dan Adeline jalani. Singkat cerita, kami menjadi satu kelompok dan diminta untuk turun ke masyarakat. Bukan menggelar bakti sosial yang sifatnya insidental, sekali datang berbagi berkat dan langsung pulang, tetapi lebih kepada proses hidup bersama. Pilihan kami jatuh pada Sanggar Merah Merdeka.

 

Sebenarnya ini adalah pengalaman pertama bersama mereka bagi saya dan Adeline. Nama Sanggar Merah Merdeka awalnya hanya kami dengar melalui cerita teman-teman seiman di kampus. Dan ternyata setelah berproses bersama para relawan dan anak-anak yang kami ajar, kami justru merasa susah melepas kebiasaan ini. Sama halnya makan butuh minum, dan tidur butuh memejamkan mata, demikian pula malam-malam kami dengan anak-anak sanggar.

 

Salah satunya, ketika saya bertemu Wulan di Kampung Tales. Malam itu adalah pertemuan saya dengannya, ketika saya pertama kali turun ke pos belajar. Dalam pos itu, Wulan lah yang pertama kali menyadari kehadiran saya. Menatap penuh curiga, tapi juga penuh kehangatan. Ketika saya melempar senyum, merekahlah senyumnya juga. Sejak hari itu, hari-hari berikutnya, rasanya seperti Wulan adik saya sendiri, yang sudah saya kenal sejak lama.

 

Tapi tidak selalu baik. Setiap saya datang, yang pertama menyambut selalu Wulan, sudah siap di ujung gang, menanti penuh harap kehadiran saya. Sebelum pelajaran dimulai, kami mengisi waktu dengan ngobrol dan bercanda. Tapi ketika kegiatan belajar dimulai, Wulan yang aktif, tidak bisa duduk diam dan fokus, mulai membangkang. Selain mengajari saya untuk sabar dan memahaminya ketika sudah mulai merajuk tak mau belajar, saya jadi termenung. Wulan adalah pancaran diri saya sendiri.

 

Sama seperti saya yang sedang menulis ini harus memakan waktu berhari-hari. Betapa sulit saya mengambil waktu untuk berkonsentrasi dan bekerja dengan tekun untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya mudah kalau kita mau berusaha. Wulan yang suka usil mengganggu teman lain yang mau belajar, yang kadang minta belajar ini, diberi malah alasan capek belajar, jangan-jangan adalah cerminan diri kita sendiri.

 

Dan seberapa parahnya pun Wulan merajuk tak mau belajar, di akhir sesi, ia selalu duduk diam dan turut menutup kegiatan dengan berdoa. Besok, ia akan kembali lagi ke pos untuk ikut belajar. Besok, ia juga masih menyetorkan uang jajan yang ia sisihkan kepada kakak relawan untuk ditabung. Betapa kita, sejauh mungkin menjauh dari keluarga, cita-cita, rencana, hidup yang kita yakini benar, kita tentu akan kembali berpulang bagaimana pun caranya, pada apa-apa yang awalnya kita anggap benar tadi. Seberapa sering pun kita ‘anak nakal’, kita akan kembali jadi ‘anak baik’ lagi.

 

Dalam kegiatan bersama Sanggar Merah Merdeka, refleksi demi refleksi lah yang saya dapatkan. Dalam menjalani proses, saya tidak lagi merasa melakukannya demi tugas semata, tapi justru sebagai sebuah kebiasaan baru yang menyenangkan. Tidak hanya anak-anaknya, tetapi warga sekitar pun menerima dengan hangat. Bagi siapa saja yang masuk ke Kampung Tales, ikut mengajar, ikut beracara dengan warganya, dan merasa tidak menjadi bagian dari mereka, barangkali ada yang salah dengan hatinya.

 

Putri Demes Dharmesty

(Mahasiswi Universitas Airlangga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.